12 September 2009

Permulaan Perpecahan Umat Islam

Saat Rasulullah wafat, umat Islam hidup dalam ikatan persaudaraan dan persatuan yang kuat, penuh kesucian dan kemulian. Namun sumber fitnah pertama setelah wafatnya Rasulullah adalah penentuan pemimpin sebagai penerus kepemimpinan Rasulullah.

Perselisihan pertama yang terjadi antara kaum Muhajirin dengan Anshar, tapi karena mantapnya pemahaman Islam yang telah melekat dalam hati muslim pada saat itu, serta jauh dari ambisi pribadi para sahabat, maka mereka dapat menghilangkan perselisihan tersebut.

Di samping itu, antara Muhajirin dan Anshar saling memuliakan dan menghargai satu dengan yang lainnya. Saad bin Ubadah pemimpin kaum Anshar mengatakan, "Kamilah (anshar) sebagai menteri, dan kalian (Muhajirin) sebagai pemimpin."

Dengan perkataan Saad, padamlah api perselisihan yang nyaris menyala. Perselisihan tentang masalah besar itu dapat dengan mudahnya diatasi dengan adanya kerelaan kaum Anshar untuk mengakui kepemimpinan Muhajirin.

Di dalam Muhajirin sendiri sebenarnya terdapat perbedaan dalam penentuan bai'at kepemimpinan tersebut. Umar bin Khaththab segera menuju Abu Ubaidah sambil mengatakan, "Bukalah tanganmu, aku akan membai'atmu, Engkaulah orang yang paling dipercaya di antara umat Muhammad, seperti ucapan Rasulullah di hadapan orang banyak."

Namun Abu Ubaidah menolak dengan tegas dan mengatakan dengan penuh kesungguhan, keimanan dan ketulusan, "Engkau akan membai'at aku, sedang di antara kita ada seorang Ash-Shiddiq (Abu Bakar), orang yang berdua bersama Rasul di dalam gua?"

Lalu Umar merasakan kebenaran dari ucapan Abu Ubaidah, maka segera ia menghampiri Abu Bakar dan berkata, "Bukalah tanganmu, aku akan membai'atmu, engkau jauh lebih utama dari diriku."

Abu Bakar pun tidak segera memenuhi permintaan Umar dan menjawab berulang-ulang, "Engkau lebih kuat dari aku."

Umar pun menukas, "Seluruh kekuatan yang ada padaku adalah bagi keutamaan yang ada pada dirimu." Akhirnya, terjadilah bai'at Umar kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai Khalifah pertama, kemudian diikuti oleh Muhajirin dan Anshar.

Di antara para sahabat, hanya Ali yang terlambat membai'at karena pada waktu itu masih sibuk mengurus Fatimah, istrinya yang dirundung kesedihan karena ditinggal ayahnya. Ali membai'at Abu Bakar dengan keikhlasan dan kepercayaan.

Sebelum Abu Bakar wafat, kaum muslimin telah mengambil kata sepakat untuk memilih Umar bin Khaththab sebagai pengganti Abu Bakar. Pada saat bai'at Umar sebagai khalifah kedua, tidak ada seorang pun sahabat yang datang terlambat, bahkan Ali termasuk orang pertama yang membai'at Umar.

Begitulah awal-awal kepergian Rasulullah, berbagai masalah yang timbul dapat diselesaikan dengan baik dan kehidupan umat Islam berjalan dengan penuh ketenangan dan ketentraman.

Pada masa kepemimpinan Utsman Ibnu Affan, barulah fitnah dan perpecahan mulai merebak, bahkan mengakibatkan terbunuhnya khalifah ketiga itu.

Sepeninggalnya Utsman Ibnu Affan, sebagian kaum muslimin membai'at Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat. Tewasnya Utsman dan dipilihnya khalifah baru bukan akhir dari masalah. Sisa-sisa kefanatikan terhadap kabilah, serta ambisi untuk menduduki kepemimpinan mulai naik ke permukaan.

Sejumlah golongan atau kelompok lahir, masing-masing kelompok menunjuk pemimpinnya. Salah satu kelompok itu adalah kelompok yang dipimpin oleh Muawiyah bin Abu Sufyan yang menempatkan diri sebagai oposan Ali.

Pendukung utama Khalifah Ali pun menggalang diri, dari sinilah berawal kelahiran dua Syi'ah (pengikut) dalam tubuh umat Islam, pengikut Muawiyah dan pengikut atau pendukung Ali dan anak cucunya, yang kemudian lebih dikenal dengan kelompok Syi'ah.

Syi'ah pada awalnya adalah satu aliran politik, demikian juga hal dengan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Muawiyah. Perbedaan politik antara Ali dengan Muawiyah berlangsung terus dan diperuncing oleh pengikut masing-masing, hingga suatu ketika diadakan tahkim (perundingan) .

Umat Islam yang sudah terpecah menjadi dua itu harus terpecah lagi menjadi tiga dikarenakan ketidaksetujuan diadakan perundingan tersebut. Kelompok ketiga ini dikenal dengan sebutan kelompok Khawarij.

Berdasarkan sejarah di atas, latar belakang lahirnya firqah-firqah dalam tubuh Islam, pada awalnya adalah perbedaan kepentingan dan paham politik, bukan perbedaan paham dalam masalah diniyah, dengan kata lain, perbedaan itu bukan berpangkal dari perbedaan masalah aqidah, tetapi perbedaan pandanagan dalam menentukan kepemimpinan atau dalam proses pemilihan khalifah.

Selanjutnya, setiap firqah terpecah menjadi beberapa firqah baru. Seperti firqah Syi'ah terpecah menjadi beberapa firqah, ada Zaidiyyah, Ismailiyyah, Itsna Asyariyyah, Al-Kisaniyyah, Al-Mukhtariyah, Karbiyyah, Hasyimiyyah, Al-Mashuriyyah, Al-Khitabiyyah, dan banyak lagi.

Sebagian dari firqah itu bersikap berlebih-lebihan dan telah menyimpang jauh dari ajaran tauhid yang murni, mereka menuhankan Ali bin Abi Thalib, di samping masih ada pula perpecahan yang tetap memegang teguh keyakinan atau aqidah yang lurus dan pemikiran yang jernih.

Begitu juga Syi'ah Khawarij terpecah menjadi beberapa firqah, di antarnya, Az-Zariqah, Ash-Shafriyyah, Al-Ibadhiyyah, Al-Ajaridah, dan Ats-Tsa'aliban. Firqah-firqah itu masih terbagi lagi dalam beberapa firqah.

Firqah-firqah tersebut masih diwarnai perbedaan pandangan politik yang bertittik tolak pada perbedaan pendapat tentang masalah hukum.

Seiring dengan berjalannya waktu, bertambah pula firqah-firqah baru dalam Islam, seperti Mutazillah, Asy'ariyyah, dan sebagainya, yang satu dengan yang lainnya saling bermusuhan dan saling membenci.

Di antara kelompok-kelompok itu, agaknya Ahlus Sunnah adalah yang paling mendekati pemahaman aqidah Islam yang benar, tidak dilandasi sikap fanatik ataupun taqlid buta.



sumber;email